Kisah Kapal Nuh kerap hadir sebagai narasi keselamatan religius. Kisahnya bercerita tentang dunia yang rusak ditenggelamkan, lalu segelintir makhluk diselamatkan untuk memulai ulang kehidupan.
Dalam pembacaan populer, ia sering dipahami sebagai cerita tentang hukuman dan anugerah ilahi. Namun, di tengah rangkaian bencana ekologis yang berulang hari ini (banjir bandang, longsor, kebakaran hutan, krisis air, dan cuaca ekstrem), kisah itu justru relevan dibaca ulang bukan sebagai dongeng masa lampau, melainkan sebagai cermin etika hidup bersama di zaman krisis.
Bencana Kebudayaan
Bencana hari ini tidak datang seperti air bah dalam kitab suci. Ia tidak turun tiba-tiba sebagai murka langit. Ia lahir perlahan dari cara hidup manusia sendiri. Mulai dari pembabatan hutan yang masif, ekstraksi sumber daya tanpa kendali, tata ruang yang abai pada daya dukung ekologis, serta logika pembangunan yang menganggap alam semata sebagai sumber keuntungan ekonomi. Karena itu, banyak bencana hari ini sejatinya bukan “bencana alam”, melainkan bencana kebudayaan, sebagai buah dari relasi manusia dengan alam yang timpang dan eksploitatif.
Dalam kisah Nuh, kapal dibangun sebagai ruang bersama bagi manusia dan seluruh makhluk hidup. Tidak ada hierarki nilai antara manusia dan makhluk lain. Manusia tidak diselamatkan sendirian, melainkan bersama hewan dan kehidupan lain.
Bahtera itu adalah simbol pengakuan bahwa kehidupan hanya bisa berlanjut jika dijaga secara kolektif. Ini kontras dengan realitas hari ini, ketika keselamatan sering kali diprivatisasi dan diseleksi. Dalam setiap bencana, kelompok yang paling cepat tenggelam hampir selalu sama yaitu masyarakat miskin, masyarakat adat, perempuan, anak-anak, serta satwa liar yang kehilangan habitatnya. Kapal keselamatan modern tampaknya hanya cukup untuk mereka yang memiliki kuasa dan akses.
Di sinilah krisis etika kita bekerja. Modernitas lama bertumpu pada cara pandang antroposentris di mana manusia menjadi pusat dan alam sebagai alat. Alam bernilai sejauh ia berguna, produktif, dan bisa dieksploitasi. Ketika bencana terjadi, alam dianggap gagal atau “murka”, bukan cara hidup manusia yang dipertanyakan.
Padahal, seperti diingatkan filsuf Hans Jonas dalam The Imperative of Responsibility (1984), etika modern seharusnya berpijak pada tanggung jawab terhadap keberlanjutan kehidupan di masa depan. Tindakan hari ini mesti diukur dari dampaknya terhadap kemungkinan hidup generasi mendatang—manusia maupun non-manusia.
Kapal Nuh, dalam pembacaan etis, justru menawarkan horizon lain, yaitu bahwa keselamatan sebagai urusan lintas makhluk. Ia menuntut pergeseran dari etika dominasi menuju etika koeksistensi. Bukan lagi pertanyaan “bagaimana alam melayani manusia”, melainkan “bagaimana manusia hidup layak bersama alam”. Krisis ekologis hari ini menunjukkan bahwa manusia gagal menjawab pertanyaan kedua.
Perspektif ini sebenarnya tidak asing dalam religiositas Nusantara. Dalam banyak kosmologi lokal, alam bukan benda mati. Ia dipahami sebagai entitas hidup yang memiliki roh, relasi, dan martabat.
Konsep ibu bumi, tanah pusaka, hutan larangan, hingga relasi kosmis dalam kepercayaan lokal menunjukkan bahwa merusak alam berarti merusak tatanan hidup bersama. Bencana, dalam pandangan ini, bukan sekadar musibah teknis, melainkan tanda terganggunya keseimbangan kosmis akibat keserakahan manusia.
Modernitas Negara-Bangsa
Namun, modernitas negara-bangsa sering meminggirkan pengetahuan semacam ini. Bencana ditangani secara teknokratis dalam bentuk evakuasi, bantuan logistik, rehabilitasi infrastruktur. Semua itu penting, tetapi kerap berhenti di permukaan.
Akar persoalannya, berupa kebijakan tata ruang, izin industri ekstraktif, dan politik pembangunan yang mengorbankan bentang alam, justru jarang disentuh. Bencana diperlakukan sebagai anomali, bukan sebagai gejala sistemik dari cara hidup yang salah arah.
Dalam konteks ini, negara seharusnya berperan sebagai nahkoda Kapal Nuh modern, sebagai penjaga keselamatan kehidupan bersama. Namun kenyataannya, negara sering justru menjadi bagian dari badai. Pemberian izin tambang, sawit, dan proyek infrastruktur skala besar sering mengabaikan daya dukung ekologis. Keselamatan kolektif dikalahkan oleh pertumbuhan ekonomi jangka pendek. Kapal yang dibangun bukan bahtera bersama, melainkan sekoci eksklusif.
Spiritualitas pun kerap kehilangan daya kritisnya. Religiusitas direduksi menjadi ritual dan simbol, sementara pesan etisnya dilepaskan dari realitas ekologis. Padahal, kisah Nuh mengajarkan bahwa iman tidak berhenti pada doa, tetapi terwujud dalam tindakan konkret merawat kehidupan.
Menyelamatkan makhluk lain adalah bagian dari kesalehan itu sendiri. Ketika penderitaan hewan, hancurnya hutan, dan punahnya spesies dianggap bukan urusan iman, maka religiositas berubah menjadi kosong secara etis.
Filsuf Jacques Derrida pernah menegaskan bahwa cara manusia memperlakukan hewan adalah cermin batas kemanusiaannya. Ketika penderitaan makhluk lain dianggap wajar karena “bukan manusia”, kekerasan terhadap kehidupan akan mudah dinormalisasi.
Dalam konteks bencana, hal ini terlihat jelas. Hewan kehilangan habitat, mati tanpa tercatat, lalu bahkan dipaksa membantu manusia membereskan kerusakan yang disebabkan manusia sendiri. Semua dianggap lumrah karena hewan diposisikan sebagai alat, bukan sesama makhluk hidup.
Di titik inilah Kapal Nuh menjadi pertanyaan mendesak bagi masa kini. Apakah pembangunan kita sedang membangun bahtera kehidupan bersama, atau justru mempercepat tenggelamnya yang paling rentan? Apakah kebijakan publik kita membuka ruang hidup bagi semua makhluk, atau hanya melindungi kepentingan segelintir orang?
Bencana yang terus berulang seharusnya dibaca sebagai panggilan etis, bukan sekadar alarm teknis. Ia menuntut perubahan cara berpikir, cara berpolitik, dan cara beriman.
Jika Kapal Nuh hari ini adalah kebijakan, maka ia harus dibangun di atas etika keadilan ekologis dan solidaritas lintas makhluk. Tanpa itu, kita bukan sedang berlayar menuju keselamatan, melainkan menunggu air bah berikutnya dengan mata terbuka.
Cara kita merespons bencana menunjukkan siapa kita sebenarnya. Dan dari sana, kita patut bertanya dengan jujur: dalam kisah zaman ini, apakah kita sedang belajar menjadi penumpang Kapal Nuh yang merawat kehidupan bersama, atau justru terus menambah beban hingga bahtera itu karam sebelum sempat berlayar?